OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI SERTA
RELASI DAN SEJARAH DI INDONESIA
UTS PEMERINTAHAN DAERAH
Mata
Kuliah Pemerintahan Daerah (PEMDA)
Pengampu
Mata Kuliah: Alva Beriansyah, S.IP
Oleh
:
ZAINUL ARIFIN
NIM: H1A119095
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
JAMBI 2021
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pertanyaan
C. Tujuan Penulisan
BAB II LANDASAN KONSEPTUAL
BAB III PEMBAHASAN
3.1.1
BAB IV PENUTUP
Daftarpustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tulisan ini secara khusus mendiskusikan konsep
otonomi daerah dan desentralisasi dalam Pemerintahan Daerah, yang saling
terkait untuk melakukan tugas-tugas pembagian kewenangan antara Hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Agar daerah dapat melakukan pemerintahan rumah
tangga daerahnya sehingga beban pemerintah pusat dapat berjalan secara baik,
serta tulisan ini membahas sejarah otonomi daerah dan desentralisasi di
Indonesia.
Otonomi daerah merupakan esensi
pemerintahan desentralisasi. Otonomi bermakna membuat perundang-undangan
sendiri (zelfwetgeving). Dalam perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain
mengandung arti zelfwetgeving (membuat perda) juga mencakup zelfbestuur
(pemerintahan sendiri) C.W. van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai
eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri). Di dalam otonomi,
pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan antara hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun sebelum otonomi daerah menjadi wacana
dominan dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Desentralisasi sudah
menjadi bagian dari mekanisme konstitusi negara kita terlebih bila kita merujuk
pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandamen dimana Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri dari daerah-daerah besar dan kecil atau dalam bahasa
konstitusionalnya diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dilakukan melalui
badan-badan publik satuan pemerintahan di daerah dalam wujud desentralisasi
teritorial, yang mempunyai kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang mandiri.
Sehingga terdapat dua nilai dasar yakni nilai unitaris dan nilai desentralisasi
teritorial.
Akar filosofis dari kebijakan desentralisasi
otonomi daerah di Indonesia paska kemerdekaan 1945 dapat ditelusuri dari
konstitusi Pasal 18 dan Pasal 1 yang dapat ditafsirkan sebagai Pemerintahan
Indonesia sebagai negara kesatuan yang mengedepankan aspek desentralisasi
sebagai bentuk kesepakatan bangsa sejak dari masa awal kemerdekaan.
A. Pertanyaan
1. Jelaskan
Konsep Otonomi Daerah?
2. Jelaskan
Konsep Desentralisasi?
3. Bagaimana
Relasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi?
4. Bagaimana
Sejarah Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Indonesia?
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk
memahami Konsep Otonomi Daerah
2. Untuk
memahami Konsep Desentralisasi
3. Untuk
memahami Relasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi
4. Untuk
mengetahui Sejarah Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Indonesia
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL
Pengertian “otonomi daerah”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya senduru sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004,
maka unsur otonomi daerah adalah:
1. Hak,
2. Wewenang,
3. Kewajiban daerah otonom.
Sedangkan UU No. 23 Tahun
2014, urusan pemerintahan di bagi menjadi urusan pemerintah absolut, konkuren,
umum (pasal 9), Pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya
nenjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter, fiskal dan agama). Pemerintah Konkuren adalah pemerintahan di
bagi antara daerah pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintah umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Partadinata (2002)
mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan
wewenang serta kewajiban dan
tanggungjawab badan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya sebagai manifestasi dan desentralisasi. Konsep desentralisasi
sesungguhnya berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menyerahkan sebagian
kewenangannya, baik kepada pemerintahan yang ada di bawahnya maupun pihak lain
termasuk kepada pihak swasta.
Mardiasmo (2002: 5) mengemukakan bahwa Desentralisasi tidak hanya
diterjemahkan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang
pemerintahan ke pihak swasta, yang diantaranya diterjemahkan dalam bentuk
privatisasi. Desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan
pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Otonomi Daerah
Secara harfiah, otonomi berasal dari bahasa Yunani, autos
yang berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, otonomi
bermakna membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) namun dalam
perkembangannya, konsep otonomi daerah juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan
sendiri). Dan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah. Sehingga dapat diartikan bahwa otonomi daerah merupakan
kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan rakyat atau kepentingan untuk
membuat aturan guna mengurus daerahnya sendiri. Bahwa dengan memiliki
kewenangan (authority) atau kekuasaan (power) dalam penyelenggaraan
pemerintahan terutama untuk kepentingan daerah maupun masyarakat. Adanya
otonomi daerah merupakan sebuah toleransi pemerintah pusat terhadap daerah
dalam rangka mengurus rumah tangganya. Optimalisasi peran serta masyarakat di
daerah dalam membangun atau mengurus daerahnya sesuai prakarsa dan kreativitas
masyarakat semuanya harus diurus oleh
pemerintah pusat.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kebijakan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas
otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
Otonomi Daerah.
3.2.1 Konsep Desentralisasi
Secara konseptual, definisi desentralisasi dalam perspektif
administrasi publik yang dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema (1983: 18)
bahwa desentralisasi: “...The Transferring of planning, decisions-making, or
admintrative authority from central government to its field organizations,
local administrative units, semi autonomous and parastatal organizations, local
governments, or nongovernmental organizations”.
Desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema merupakan
penyerahan perencanaan, pengambilan keputusan atau kewenangan administratif
dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administrasi
lokal, organinasi semi-otonom dan organisasi parastatal, pemerintah lokal atau
organisasi daerah. Litvack & Seddon (1999: 2) menerjemahkan desentralisasi
sebagai: “The transfer of authority and responsibility for public function
from central government to subordinate or quasi-independent government
organization or the private sector”.
Bahwa desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan
tanggung jawab fungsi publik dsri pemerintahan pusat kepada organisasi
pemerintah sub-nasional atau semi independen atau sektor swasta. The Liang Gie
(1978) mengemukakan alasan-alasan perlu diimplementasikan konsep
desentralisasi, alasan-alasan tersebut:
1.
Sudut pandang politik sebagai permainan kekuasaan,
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2.
Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi
dianggap sebagai tindak demokratisasi untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
3.
Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alasan
mengadakan Pemerintahan Daerah (Desentralisasi) adalah semata-mata untuk
mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk
diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.
Hal-hal yang lebih tepat di tangan pemerintah pusat tetap diurus oleh pemerintah
pusat.
4.
Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan
supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah,
seperti geografi keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak budaya atau latar
belakang sejarahnya.
5.
Dari sudut kepentingan pembangunan ekonom,
desentralisasi diperlukan karena Pemerintah Daerah dapat lebih banyak secara
langsung membantu pembangunan tersebut.
3.2.2
Tiga Jenis Desentralisasi
Para ahli desentralisasi merumuskan desentralisasi kedalam
tiga varian bentuk, yakni dekonsentrasi (deconcentracion),
desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) dan devolusi (devolution)
(Manor, 1999 dalam Mudiyati, 2011)
1. .1. Dekonsentrasi
Rondinelli dan Cheema, dekonsentrasi adalah
pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi di dalam suatu
kemerterian. Tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya
menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada
atasan.devolutionisasi fiskal
2.
2.Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Fiskal yang menyangkut ”downward
fiscal transfers, by which highrr levels in a system cede influence over
budgets and financial decisions to lower level” (Manor, 1999: 9).
Kewenangan ini diserahkan kepada aparat birokrasi pusat (deconcentrated
bureaucrats) atau yang ditunjuk dari pemerintah pusat yang bertanggung
jawab kepada atasan.
3.
3. Devolusi
Devolusi atau democratic decentralization yang
merujuk kepada “the transfer of resources and power (and often tasks) to
lower level authorities which are largely or wholly independent of higher
levels of government.....” Schneider (2003: 18) menambahkan bahwa
kemandirian tersebut memungkinkan aktor politik lokal untuk mengelola isu-isu
lokal tanpa campur tangan pusat atau pemerintah di atasnya. Menurut Smith
(1985) karena devolusi memungkinkan penduduk lokal untuk mempunyai suara dan
dapat memengaruhi proses-proses pengambilan keputusan; demokratisasi menjadi
diperkuat karena aparat publik menjadi lebih akuntabel dan pelayanan publik
menjadi lebih baik karena Pemerintah lokal menjadi lebih efisien dalam
mengatasi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya daripada pemerintah pusat.
3.3.1
Hubungan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Negara
Kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk:
1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi,
Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala
sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan
daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan
oleh pemerintah pusat.
2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi.
Sedangkan dalam
negara kesatuan sistem desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan
kesempatan dan kekyasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
(otonomi daerah) yang dinamakan dengan daerah otonom.
Menurut Sri Soemantri adanya pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu ditetapkan dalam
konstitusinya, akan tetapi karena masalah itu adalah merupakan hakikat daripada
negara kesatuan.
Hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial
merupakan konsep dalam negara kesatuan. Satuan otonomi teritorial merupakan
suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan
tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi
pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi,
hubungan Pusat dan Daerah atas dasar otonomi teritorial memiliki kesamaan
dengan hubungan pusat da daerah atas dasar federal yaitu hubungan antara dua
subyek hukum yang masing-masing berdiri sendiri.
3.4.1 Sejarah Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Indonesia
Apabila ingin memahami otonomi daerah dan desentralisasi
maka tidak terlepas dari Pemerintahan Daerah
1.
Pemerintahan
Daerah Sebelum Kemerdekaan
Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali
didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui
Desentralisasi Wet 1903. Undang-undang ini dimaksudkan hanya mencakup wilayah
Jawa dan Madura saja. Sebelum tahun 1903, seluruh wilayah Indonesia diperintah
secara sentral dibawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda ditanah
jajahan. Disamping pemerintahan yang dijalankan oleh pihak kolonial Belanda,
terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh
raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut diakui haknya untuk memerintah
di wilayahnya asalkan mereka mengakui dan tunduk kepada kekuasaan Pemerintah
kolonial atas wilayah mereka.
Raja-raja tersebut diberi kewenangan untuk memerintah
wilayahnya menurut adat dan tradisi daerah yang bersangkutan, sepanjang mereka
tunduk kepada pemerintah Kolonial Belanda. Raja-Raja tersebut memerintah
wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditanda tangani dengan Belanda dan
diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas pusat atas nama pemerintah
kolonial. Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta,
Deli, Bone dal lain-lainnya.
Pada tahun 1922, Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan
pembaharuan dengan maksud untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
Pemerintah daerah untuk menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan
aktivitasnya. Pembaharuan tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1.
Memberikan kewenangan lebih besar kepada
pejabat-pejabat Belanda yang ditugaskan di wilayah.
2.
Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
pejabat-pejabat pribumi.
3.
Melibatkan unsur-unsur progresif yang ada di daerah
untuk ikut berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Muslimin,
1960) .
Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU
1903 terletak pada ada tidaknya dewan daerah. Sebelum UU 1903, tidak terdapat
sama sekali otonomi pemerintah daerah. Semua unit pemerintahan bersifat administratif
atas dasar prinsip dekonsentrasi. Namun setelah UU 1903 dikeluarkan,
didirikanlah sejenis Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu dan
mereka diberikan kewenangan untuk menggali pendapatan daerah untuk membiayai
pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat
setempat, namun Kepala Pemerintahan seperti Gubernur, Residen, atau Bupati
tetap diangkat oleh pemerintah pusat.
Pemerintah Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan
Jepang dari tahun 1942 sampai dengan 1945. Sistem pemerintahan dibawah tentara
pendudukan Jepang diatur secara militer. Sumatra dan Jawa diperintah dibawah
angkatan darat yang masing-masing bermarkas di Bukittinggi dan Jakarta. Diluar
Jawa dan Sumatra dibawah angkatan laut dengan markas besarnya di Ujungpandang
(Makassar). Pada dasarnya sistem pemerintahan dibawah tentara pendudukan Jepang
meneruskan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Unit-unit pemerintahan daerah diatur berdasarkan prinsip dekonsentrasi
dan semua kegiatan politik dilarang.
Ketika Jepang mendekati kekalahan, mereka mengijinkan pendirian
Dewan Daerah dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara
Jepang. Bahkan sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu Komite
beranggotakan pemimpin-pemimpin nasional untuk persiapan kemerdekaan Indonesia.
Pemerintah pendudukan Jepang berakhir seiring dengan kekalahan mereka dalam
perang Asia Timur Raya dan rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Dengan proklamasi kemerdekaan tersebut dimulailah era pemerintahan daerah pasca
kemerdekaan
2.
Sistem
Pemerintahan Daerah Pasca Kemerdekaan
Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia pasca
proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang
pemerintahan daerah. Setiap Undang-Undang yang diberlakukan akan menandai
terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah dan ini sangat erat
kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada dasarnya terdapat lima kali
perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem pemerintahan daerah pasca
kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yag berbeda satu sama
lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut
ini:
1). Undang Undang No.1/ 1945
Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945
dan merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan.
Undang-Undang tersebut didasarkan pasa pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya
pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang 1/1945 tersebut,
meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level
terkecuali di tingkat Provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif
dan anggota-anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih
lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutip yang dipimpin
oleh Kepala Daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala Daerah
memjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai
Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.
Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk
menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan
daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal
tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur Kepala
Daerah. Status Kepala Daerah adalah diangkat dan diambil dari Keanggotaan
Komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang
terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah dan bukan dipilih.
2). Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948
Undang-Undang No.22/1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli
1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang
No.22/1948 hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak
menyinggung daerah administratip.
UU tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu;
Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan
Eksekutip dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan
sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah
bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari
calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
Walaupun demikian terdapat klausul dalam pasal 46 UU 22/1948 yang
memungkinkan Pemerintah untuk mengangkat orang-orang, yang umumnya diambil dari
Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut pemerintah
sering menempatkan para calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan
persetujuan DPRD.
DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung
jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut
merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa
tersebut. Pada sisi lain Kepala Daerah tetap menjalankan dwifungsi; sebagai
ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pusat di daerah pada sisi yang lain.
Sebagai alat Pusat, Kepala Daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai
Ketua DPD, ia bertindak selaku wakil dari Daerah yang bersangkutan. Posisi ini
bisa jadi menimbulkan dilema, manakala
terdapat perbedaan antara kepentingan Daerah dan Pusat.
Tidak seperti UU 1/1945, UU 22/1948 secara jelas menyatakan
urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil)
seperti prinsip Ultra Vares yang diterapkan pada Pemerintah Daerah di Inggris.
Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah tanpa melihat
tingkatannya. Bahkan kota Kecil sebagai Pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai
urusan yang sama dengan urusan Pemerintah Daerah tingkat atasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengenyampingkan kemampuan riil dari
pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada
pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas.
Walaupun UU 22/1948 menyiratkan keinginan untuk memberikan
aksentuasi pada prinsip desentralisasi, kebijaksanaan ini tetap belum cukup
untuk melonggarkan kontrol Pusat terhadap daerah. Ada dua alasan pokok kenapa
Pusat tetap mempertahankan kontrol yang kuat terhadap Daerah.
Pertama, kebanyakan Daerah pada masa tersebut masih dibawah
kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah
daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah
sistem Federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa
Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan. UU 22/1948 hanya berlaku pada wilayah
Republik, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem Federal diatur sistim
Pemerintahan Daerahnya menurut UU No.44/1950.
Kedua, sistim pemerintahan negara Republik Indonesia pada
waktu itu berdasarkan sistem Parlementer. Terjadi persaingan politik yang cukup
sengit pada waktu itu dari berbagai partai politik yang pada dasarnya
melemahkan persatuan Indonesia. Pemberian otonomi yang tinggi akan cenderung
memicu gerakan separatisme dalam kondisi politik yang tidak stabil.
3). Undang Undang Nomor.1 Tahun 1957
Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek
Dekonsentrasi, dan UU 22/1948 pada aspek desentralisasi, maka UU 1/1957
ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah Desentralisasi. UU 1/1957
adalah produk dari sistem parlemen Liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama
tahun 1955. Partai-Partai politik di Parlemen menuntut adanya pemerintah daerah
yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan
Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintah Pusat di
daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1956
terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat
(Suryaningrat, 1980).
Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan
otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah
Daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama
seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan UU 22/1948, sampai dengan tahun
1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi.
Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan Peraturan
Pemerintah dan prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama.
Sistem Pemerintahan Daerah menurut UU 1/1957 adalah hampir
sama dengan pengaturan dalam UU 22/1948. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD
dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD.
Kepala Daerah bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi d daerah
terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk
melaksanakannya.
Perbedaannya dengan UU 22/1948 terletak pada peranan yanng
dijalankan oleh Kepala Daerah. Kepala Daerah hanya berperan selaku alat daerah
dan tidak bertanggung jawab kepada Pusat. Kepala Daerah dan DPD baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektip bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala
Daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus mendapatkan
pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri untuk
Daerah Tingkat II dan Tingkat III.
Sistem ini mendapatkan tantangan yang keras terutama dari
pihak Pamong Praja dan Angkatan Darat. Mereka menuntut diadakannya evaluasi
kembali terhadap otonomi daerah, posisi yang jelas untuk Pamong Praja,
pengawasan yang efektip terhadap pemerintah daerah, dan larangan terhadap
pegawai negeri untuk ikut dalam partai politik. Mereka juga menyarankan bahwa
bila Kepala Daerah tidak menjadi wakil Pusat di daerah, alternatifnya haruslah
ada pejabat-pejabat Pusat di daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota untuk
menjalankan urusan-urusan Pusat di Daerah (Syafrudin, 1976).
UU 1/1957 telah menyebabkan dualisme kepemimpinan di
daerah. Pertama, Kepala Daerah bersama-sama DPD bertindak selaku Eksekutip
daerah yang bertanggung jawab kepada DPRD dan mereka bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pemerintahan daerah sehari-hari. Pada sisi lain, Gubernur, Bupati
dan Walikota yang bertanggung jawab kepada Pusat mempunyai tanggung jawab
melaksanakan urusan-urusan Pusat yang ada di Daerah. Dalam kenyataan, rakyat
lebih mengenal jabatan-jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota dibandingkan jabatan
Kepala Daerah dalam mengacu kepada pimpinan pemerintahan di daerah. Akibatnya
timbul kekaburan di masyarakat mengenai siapa figur Gubernur atau
Bupati/walikota; apakah mereka agen pusat atau daerah ? Bahkan anggota DPD
seringkali mengklaim diri mereka sebagai Wakil Bupati atau Wakil Walikota
(Syafrudin, ibid). Inilah alasan utama mengapa UU 1/1957 dianggap telah
menciptakan dualisme kepemimpinan di daerah.
Dalam kenyataannya, ditingkat nasional, sistem pemerintahan
parlementer tidak sesuai dengan kondisi Indonesia pada waktu itu yang
mengakibatkan tidak stabilnya pemerintahan nasional yang ditandai dengan jatuh
bangunnya berbagai Kabinet Pemerintahan sedangkan pembangunan ekonomi
terlupakan. Pemberontakan bersenjata meletus diberbagai daerah seperti Sumatra
Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Maluku yang disebabkan karena
ketidak-puasan kepada pemerintahan Pusat yang lemah.
Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik
tidak diiringi dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam kekacauan politik
tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan
daruratpun diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan
Kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang
disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).
4.) Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
Pada tanggal 16 November 1959, sebagai tindak lanjut dari
Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur
Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah
mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutip daerah dan wakil Pusat di daerah.
Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutip daerah ia
bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan
sebagai wakil Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.
Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh
Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala
Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutip daerah Kepala daerah dibantu oleh Badan
Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus
bebas dari partai politik.
Penpres 6/1959 menandai beralihnya kebijaksanaan
pemerintahan daerah kearah prisip Dekonsentrasi. Kekuasaan Daerah pada dasarnya
terletak ditangan Kepala Daerah, dan Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap
Kepala Daerah yang umumnya direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD mempunyai
hak untuk mengusulkan calon-calon Kepala Daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam
Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui.
Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan Bupati dan Walikota. Pada awal tahun
1960an pada waktu semua jabatan Kepala Daerah terisi, dari 238 Kepala Daerah,
150 orang atau 63% berasal dari Pamong Praja (Legge, 1961).
Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut
terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 yang menyatakan
pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah. Sebagai tindak
lanjutnya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963
tentang Penyerahan Urusan-Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong
Praja kepada Pemerintah Daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen
diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-rusan yan dijalankan oleh Wedana
diserahkan kepada Bupati atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau
Camat tetap dipertahankan. Kemudian Undang-Undang No.18 Tahun 1965 dikeluarkan
untuk mengganti Penpres 6/1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari
dekonsentrasi kearah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari
menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.
5.) Undang Undang Nomor 18 tahun 1965
Pada pertengahan dekade 1960an telah timbul tntutan yang
semakin kuat untuk merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan
semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan
oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar
pada waktu itu yaitu kelompok partai Nasionalis, Agama dan Komunis.
Berdasarkan UU 18/1965, Kepala Daerah tetap memegang peran
ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pusat di daerah. Meskipun prinsip
desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun
Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun
diberi embel-embel vital.
Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem
pemerintahan daerah adalah bahwa Kepala Daerah bukanlan lagi bertindak sebagai
Ketua DPRD, dan dia juga diijinkan menjadi anggota partai politik. Secara
struktural, terdapat tiga tingkatan Pemerintah Daerah yang otonom yaitu;
Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada
Daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Hal ini hampir serupa dengan
otonomi dalam UU 1/1957.
UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan
sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang
diberikan kepada Kepala Daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik
tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutip daerah
tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat.
Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan
bahwa partai-partai politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir
bangkrut pada akhir tahun 1950an. Partai Politik berusaha memperoleh akses ke
kelompok eksekutif daerah melalui adanya ketentuan yang membolehkan para eksekutif
tersebut untuk menjadi anggota partai. Telah terjadi tuntutan yang kuat untuk
memberikan otonomi yang seluas-luasnya
kepada Daerah dan tuntutan pendirian Daerah Otonomi Tingkat III yang berbasis
pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan
dukungan politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat
bertempat tinggal.
3.
Era Reformasi
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan 7 Mei
1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No.
25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No.
5/1974 yang sentralistik. Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi
yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan
walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di
bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan
satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk
mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada
bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang
memadai antara eksekutif dan legislatif. Parlemen di daerah tumbuh menjadi
sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka
dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi
kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga
dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah
dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga
mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku
setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya
yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih
tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka
yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan
demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul
setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang
demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi:
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi
kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran
pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak
lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan
kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang
mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi
daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya
telah melahirkan kebingungan. Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan
semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga
memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah”
mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui
semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki
oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu
yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah.
Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah
mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih
bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, Perubahan Kedua, berbunyi,
“Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat”. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan
Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945.
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk
negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam
makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang
disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang
seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 18 ayat
(1) dan (5) UUD 1945.
Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU
Nomor 32 Tahun 2004).
Penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan
kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi
tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan
yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. Politik luar negeri, b. Pertahanan,
c. Keamanan, d. Yustisi, e. Moneter dan fiskal, f. Agama.
Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan
urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan
tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa
melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan
fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang
semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.
UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan
berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007
tentang pembagian urusan. Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah,
namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih
komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No. 32/2004 untuk lebih
menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.
BAB IV
PENUTUP
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kebijakan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.
Adanya otonomi daerah merupakan sebuah
toleransi pemerintah pusat terhadap daerah dalam rangka mengurus rumah
tangganya. Optimalisasi peran serta masyarakat di daerah dalam membangun atau
mengurus daerahnya sesuai prakarsa dan kreativitas masyarakat semuanya harus diurus oleh pemerintah pusat. Penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna
peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority.
Desentralisasi sebagai suatu sistim
administrasi pemerintahan, dalam banyak hal, tidak dapat dilepaskan dalam
proses pertumbuhan suatu negara. Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia
mengalami pasang surut seiring dengan perubahan konstalasi politik yang melekat
dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa. Keberadaan dan pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia menjadi penting ketika kekuasaan pusat menyadari
semakin sulit untuk mengendalikan sebuah negara secara penuh dan efektif.
Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang
diwarnai dengan arus globalisasi.
Secara formal normatif, arah desentralisasi
sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen pemerintah pusat tidak
konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-urusan strategis yang
menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah, dikuasai
pusat.
Daftar Pustaka
A.
Buku
dana lainnya
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi,
kerjasama LAN – Depdagri.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi
Penyerahan Urusan Pemerintahan” Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda –
Depdagri.
Abdurrahman (Editor), Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi
Daerah. Media Sarana Press, Jakarta. 1987. Hlm. 56
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara. Rajawali, Jakarta. 1981. Hlm. 52
Undang-Undang No. 22/1999
Undang-Undang No. 32/2004
B.
Jurnal
Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam
Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007”,
Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Sagala, Andi. 2016. Model Otonomi Daerah Pada Masa Orde
Lama Orde Baru dan Reformasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. JOM Fakultas
Hukum, Vol. 3 No. 2
Syadzily, Ace Hasan. 2020. Konsep Desentralisasi dan
Otonomi Daerah. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta.
Jati, Wasisto Raharjo. 2012. Inkonsistensi Paradigma Otonomi
Daerah di Indonesia: Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi. Jurnal
Konstitusi, Vol. 9 No. 4
C.
Internet
https://www.kompasiana.com/adesuerani/55000a4ea33311a96f50fa16/sejarah-desentralisasi-di-indonesia-selesai
https://trimongalah.wordpress.com/2018/05/28/sejarah-otonomi-daerah-di-indonesia/amp/
http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/
http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp3_2_priyanto.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar