STRATEGI PENANGANAN POLITIK UANG PEMILU TAHUN 2019 PROVINSI JAMBI


 STRATEGI PENANGANAN POLITIK UANG

PEMILU TAHUN 2019 PROVINSI JAMBI

Ketua Penyusun:

Rahmat Yusuf H1A119049

Dosen Pengampu:

Alva Beriansyah, S.IP.,M.IP

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN JURUSAN ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI 2022

STRATEGI PENANGANAN POLITIK UANG PEMILU PROVINSI JAMBI

Edited By:

Rahmat Yusuf (H1A119049)

Tim Penyusun:

Zainul Arifin (H1A119095)

Rahmat Yusuf (H1A119049)

Rina (H1A119052)

Novita AgusRiza (H1A119028)

Jumlah Halaman: i – iv

Universitas Jambi, Kampus Mendalo, Jl. Jambi – Muara Bulian No.KM.15, Mendalo Darat, Kec. Jambi luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

PRAKATA

Puji Syukur saya Panjatkan kepada Allah SWT. Yang mana ia memampukan saya dalam menyususn makalah yang berjudul Strategi Penanganan

Suap Kepada Aparat. Tidak lupa saya juga ucapkan Shalawat kepada baginda nabi Muhammad SAW. Yang mana beliau membawa manusia dari alam kebodohan

menuju alam kaya ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Makalah Strategi Penanganan Suap Kepada Aparat merupakan makalah yang membahas bagaimana cara penanganan suap yang merebak dinegeri ini dengan melihat mulai dari pengertian, pengalaman anggota kelompok dalam melihat suap, sebab akibat, hingga proses penyuapan. Tidak lupa saya juga turut meganalisis praktik suap berdasarkan teori yang relevan.

Sebagai ketua penyusun makalah ini, tentu menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu sebagai ketua pernyusun mengucapkan permohonan maaf apabila ditemukan kesalahan dalam penulisan, tulisan hingga susunan makalah serta analisis sederhana yang dilakukan. Sekian dari saya bersama anggota kelompok mengucapkan terima kasih dan selamat membaca

Ketua Tim Penyusun

RAHMAT YUSUF

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 2

1.3. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Permasalahan Mengenai Proses Korupsi Politik Money Di Pemilu Jambi 2019 3

2.2 Identifikasi Permasalahan Praktik Politik Uang 3

2.3 Potensi Politik Uang Pada Tahapan Pemilu 2019 7

2.4 Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dari Berbagai Penelitian di Dunia 10

2.5 Dampak Fenomena Politik Uang dalam Pemilu 13

2.6 Strategi Politik Uang dalam Pemilu 13

BAB III KESIMPULAN 15

3.1. Kesimpulan 15

REFERENSI 17

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemilihan umum serentak Tahun 2019 sebagai sarana perwujudan

demokrasi di Indonesia dinodai dengan pelanggaran yang terjadi pada

setiap tahapannya. Pelanggaran tersebut terjadi akibat tidak mampunya

penyelenggara melaksanakan Pemilu dengan prinsip kebebasan, keadilan,

dan kesetaraan. Sesuai data hasil pelanggaran Pemilu Tahun 2019

(Bawaslu, 2019) menyatakan bahwa terdapat 6.649 temuan yang telah

diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik.

Pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang.

Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat

politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran

politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan

menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang

terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi

praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia. Hal ini sejalan dengan

temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang

yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12

kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14

sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus

Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di

Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten

Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut. Kedua, menurut hasil

survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei

tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa

terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang

terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik

uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.

Sedangkan menurut data Koalisi Masyarakat Sipil, terdapat 44

temuan terkait politik uang selama masa tenang Pemilu 2019. Sementara

berdasarkan temuan Bawaslu terdapat 24 putusan tentang politik uang

yaitu 23 putusan inkarah dan 1 dalam proses banding. Praktik politik

uang sebagian besar terjadi pada hari pencoblosan tanggal 17 April, saat

massa tenang selama tiga hari, dan sebelum memasuki masa tenang.

Konsep politik uang yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teori yang dikemukakan oleh Jensen dkk (2013). Demi memperoleh

kekuasaan dan menarik simpati rakyat, kandidat sering malakukan

transaksional politik. Permasalahan tersebut tidak hanya terjadi pada

masa tahapan pemungutan suara tapi juga pada tahapan pra, sampai

pasca Pemilu. Hal ini diakibatkan karena lemahnya pengawasan dan regulasi hukum sehingga membuka peluang bagi masyarakat politik,

penyelenggara ataupun pemilih untuk masuk kedalam lingkaran

pelanggaran tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang yang telah disusun maka rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses money politik terjadi?

2. Apa dampak dari money politik kedepannya?

3. Bagaimana strategi dalam menangani money politik?

1.3. Tujuan

Tujuan dalam tulisan ini paling utama ialah langkah edukasi anti korupsi dikalangan mahasiswa bahwa sebenarnya kita kurang menyadari perilaku perilaku korupsi disekitar kita serta acuh tak acuh sehingga tulisan ini berupaya menumbuhkan kesadaraan pembaca tentang korupsi dan money politik yang diannggap hal biasa dan sudah menjadi budaya dikalangan masyarakat.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Mengenai Proses Korupsi Politik Money Di Pemilu Jambi 2019

Pada saat pelaksanaan pilgub 2019 di provinsi jambi maraknya terjadi money politik demi mendapatkan kekuasaan. Hal ini kerap terjadi pada masa-masa pemilihan bahkan telah menjadi budaya yg melekat di masyarakat mana di setiap ada pemilihan pasti yg ditanyakan milih calon A atau B di kasih berapa?

Demi mendapatkan kursi legislatif para caleg melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan suara dari masyarakat dengan menggunakan politik uang dengan amplop yang berisikan uang sekitar sebesar 100 ribu, dan 50 ribu serta memasukkan gambar para caleg dan nomor pemilihannya dan ada juga yang menggunakan sembako sebagai alat politiknya dengan memasukkan stiker bergambarkan foto dan nomor caleg tersebut. Masyarakat tahu bahwa dalam pemilu, politik uang itu tidak baik akan tetapi bercandaan mereka selalu dengan kata-kata "kalau tidak ada uangnya tidak akan dipilih" dampaknya merugikan negara karena yang seharusnya para caleg dalam undang-undang sangat bersih dari tindakan yang melanggar hukum karena kebiasaan dalam partai politik untuk mendapatkan kursi legislatif membutuhkan biaya yang besar dan para caleg akan sedikit memberikan kekuasaan nya untuk masyarakat karena dia akan berupaya untuk mengembalikan uang semasa pemilihannya artinya ia berhutang terhadap partai politik.

Hal Ini akan menjadi awal mula terjadinya korupsi yg lebih besar kedepannya untuk mengembalikan modal yg telah mereka keluarkan pada saat proses pemilihan. Hal tersebut berdampak pada masyarakat sebagai contoh ada proyek pembangunan jalan yg seharusnya memiliki ketebalan 5 cm tapi karena dikorupsi dananya menjadi 3cm saja.

2.2 Identifikasi Permasalahan Praktik Politik Uang

Berbagai permasalahan dan celah hukum yang terjadi selama tahapan Pemilu dapat meningkatkan potensi praktek politik uang. Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang. Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu:

• Terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang

Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye. Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”. Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang.

Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik. Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84). Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.

Kedua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas. Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik. Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.

Ketiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik. Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.

Keempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.

Kelima, menurut bunyi Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012 suatu tindakan memenuhi unsur praktek politik uang jika pelaksana kampanye melakukan pemberian uang/materi sebagai imbalan kepada peserta kampanye (pemilih) untuk memilih atau tidak memilih parpol tertentu. Untuk membuktikan adanya pelanggaran Pemilu pada masa sebelum pencoblosan terkait politik uang maka ketentuan pasal ini mengharuskan Bawaslu kabupaten/kota melacak bukti-bukti material yang mengarah pada praktik politik uang. Padahal upaya untuk mendapatkan alat bukti praktik politik uang tidak mudah jika saksi tidak bersedia bersaksi dan bukti hasil transaksi politik uang tidak terpenuhi. Kondisi ini menyebabkan penindakan pelanggaran politik uang yang terjadi sebelum pencoblosan tidak dapat dilakukan maksimal. Jika ada bukti empirik adanya praktik pemberian uang atau materi kepada pemilih, maka pihak Bawaslu kesulitan mendapatkan saksi yang bersedia diminta keterangan.

• Bentuk Pemberian Politik Uang Tidak Teridentifikasi Sebagai Kasus Politik Uang Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara-acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon. Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi. Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian,sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi. Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan. Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan.

• Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka Menempatkan Calon Pada Ketidakpastian Atas Keterpilihannya

Hal ini mendorong calon untuk melakukan penguatan elektabilitas secara instan melalui politik uang. Selain itu, karakter pemilih yang kian pragmatis dan tidak tegas dalam menolak pemberian uang/materi membuat calon atau tim pemenangan calon makin leluasa mempengaruhi independensi pemilih melalui strategi yang berbau politik uang.

2.3 Potensi Politik Uang Pada Tahapan Pemilu 2019

• Pendataan Pemilih

Potensi pelanggaran politik uang dalam tahapan ini adalah pelanggaran penipuan/kesalahan disengaja untuk mobilisasi suara ke kandidat tertentu. Menurut (Marli, 2018) masalah pendataan pemilih ini erat kaitannya dengan sumber daya manusia dilapangan yang kurang teliti dan sistem e-ktp yang harus diakui masih banyak kelemahan. Dari sisi penyelenggara, ketidakprofesionalitasan ini ditandai dengan tidak ada problem solving dalam kasus yang ditemui. Peningkatkan keakuratan data pemilih dapat dilakukan melalui pembangunan sebuah sistem data pemilih yang terintegrasi dengan catatan sipil, kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan, sehingga perubahan yang terjadi di lapangan bisa langsung diketahui dan dirubah di sistem. Sesuai dengan penelitian Perludem bahwa diperlukan adanya konsolidasi data kependudukan yang sepenuhnya dikelola oleh KPU dan berkolaborasi dengan kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan.

• Pendaftaran Calon

Dalam proses pendaftaran calon ini, dikatakan berintegritas jika bebas dari diskriminasi dan kesetaraan. Terdapat beberapa permasalahan pendaftaran calon yang mengurangi integritas pemilu antara lain banyaknya kasus mahar politik dalam proses pencalonan oleh partai politik. Pencegahan mahar politik dan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan, peran KPU disini adalah ikut melakukan sosialisasi dampak buruk mahar politik dan politik uang dan meningkatkan Efektifitas Pemantau dan Pengawas Pemilu.

• Media Dalam Kampanye

Media lokal ataupun nasional masih jauh dari prinsip ideal. Beberapa hal yang dicatat oleh Marli (2018) bahwa media wartawan menerima imbalan dari berita yang dibuatnya, maraknya politik uang terdistribusi dengan efektif ke pers, media elektronik, dan yang paling berpengaruh secara signifikan adalah media televisi. Tidak adanya batasan jelas antara advertorial dengan berita atau reportase yang merugikan masyarakat serta ada nya keberpihakan media terhadap salah satu calon. Kecenderungan keberpihakan ini salah satunya dilihat dari indikasi berita yang dimuat atau tidak dimuat dalam medianya. Berita-berita yang dimuat umumnya hanya berita seromonial yang hanya bersifat kampanye dan branding. Berita yang tidak dimuat dapat berupa kasus-kasus dimana publik perlu tahu tetapi tidak terlalu diberitakan karena akan merugikan kandidatnya. Kesulitan netralitas dan berimbang media dalam penyelenggaraan kontestasi pemilu berkaitan dengan pendapatan media dimana dalam pemilu serentak ada aturan bahwa iklan kampanye dibiayai oleh negara sehingga pasangan calon dilarang membuat iklan lagi dimedia cetak. Hal ini tentu saja mengurangi pendapatan media dari biaya iklan yang bisa didapat jika pasangan calon diberi kebebasan memasang iklan. Beberapa hasil pemantauan konten media juga didapatkan hasil bahwa redaksi dan karyawan terkadang menjadi tim sukses dan mendukung salah satu calon secara informal. Terlihat dari branding calon yang mereka buat dalam news/berita seolah-olah ini adalah berita publik, padahal dapat dikatakan bahwa itu adalah iklan branding terselubung. Dihubungkan dengan petahana, maka petahana mendapat sedikit keuntungan dalam pemberitaan media dibanding calon yang non petahana. Modus bisa dengan membuat pemberitaan baik atau justru dengan tidak memberitakan hal-hal negatif dimana seharusnya publik mempunyai hak untuk mendapatkan berita.

Di lain hal, media sosial dapat dipakai untuk mengungkapkan kecurangan dalam pemilu. Akan tetapi disisi lain lebih banyak juga media sosial ini dipakai untuk menyebarkan black campaign, fitnah, hate speechdan berita palsu/hoax. Sifat media sosial sebagai new media yang mempunya karakteristik lebih mobile, real time dan penyebarannya yang instan, maka susah untuk membendung efek negatif dari media sosial ini. Namun jika digunakan untuk hal yang positif seperti menyebarluaskaninformasi pemilihan dan mengungkapkan kecurangan maka media sosial dapat menjadi media yang bermanfaat.

• Kampanye

Politik uang paling banyak ditemukan pada saat kampanye, berbagai macam jenis politik uang yang terselubung seakan tidak dapat terbendung karena semakin kreatifnya pelaku untuk menjalankan aksi vote buying ataupun dana kampanye yang “mengikat” (abusive donation).

• Pemungutan Suara

Pemungutan suara rentan terhadap pelanggaran politik uang. Pelanggaran tersebut seperti vote buying/pembelian suara dan serangan fajar. Permasalahan yang lain yang menjadi catatan dalam pemungutan suara ini adalah kurangnya pilihan/kandidat yang berkualitas yang ditawarkan kepada pemilih. Hal ini erat kaitannya dengan kurangnya kaderisasi di partai politik, partai politik tidak menyiapkan calon yang berkualitas dan sentralistiknya penentuan calon yang akan diusung oleh partai politik, sehingga calon yang diusung bukan merupakan kandidat yang merupakan aspirasi dari masyarakat di daerah.

• Penghitungan Suara

Politik uang terjadi antara calon tertentu dengan penyelenggara. Namun, Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi. Sehingga perlu indikator kualitas Pemilu diatas dengan pengawasan dan hukum yang tidak memihak,tegas dan jelas.

Dari berbagai analisis di setiap tahapan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat tahapan yang rentan dalam kecurangan terutama politik uang (Utari, 2016), yaitu sebagai berikut :

Tahapan Penjaringan Calon Tahap ini menjadi tahapan paling rawan terjadi politik uang dan mahar politik. Kelemahan tahapan ini: monopoli partai politik sebagai penyokong kandidat presiden yang dicalonkan. Karena kandidat presiden bisa dicalonkan kalau memiliki ambang batas 25%, menyebabkan politik uang dan mahar politik. Menurut Ari Dwipayana, dengan memakai jasa partai setiap calon kepala daerah mengeluarkan dana minimal 7-8 miliar rupiah (Dwipayana, 2005). Sehingga munculah transaksional politik yang melibatkan calon, partai politik dan stakeholder.

Tahap Seleksi Administrasi Calon Menurut Taufikurrachman Saleh banyak Tim sukses yang menyusun skenario praktik tawar menawar uang dan lobi politik untuk memuluskan jalannya, namun hal ini sulit didekteksi karena tim sukses tidak dikaitkan dalam aturan politik uang, sehingga yang mereka lakukan sulit untuk dikaitkan secara langsung dengan calon kepala daerah.

Tahap Pendataan Pemilih Dan Pengadaan Kartu Pemilih Terjadi kolusi antara pihak pendata dengan pihak calon. Petugas pendata memprioritaskan masyarakat yang mencadi pendukung salah satu calon, sedangkan masyarakat pendukung calon yang lain diabaikan. Pengadaan kartu pemilih melebihi jumlah pemilih setempat. Sehingga harus dilakukan pembenahan panitia pemilihan.

Tahap Kampanye Sering terjadi aksi sumbangan yang dialkukan kandidat untuk mendapatkan simpati masyarakat, contoh bagi uang, sembako, proyek bahkan kitab suci agama tertentu. Namun kelemahan ini terjadi juga karena regulasi yang ada tidak merumuskan secara eksplisit perbuatan tersebut termasuk melanggar hukum.

Tahap Pemungutan Suara

Sering terjadi serangan fajar, penyuapan kepada masyarakat, tokoh masyarakat, bahkan oknum pengawas. Kasus penggelembungan suara, kerjasama KPUD untuk pemenangan calon tertentu melalui pengelembungan suara.

Tahap Rekapitulasi Suara

Terjadinya politik uang melalui kerjasama antara calon tertentu dengan penyelenggara, sehingga hasil rekapitulasi pemungutan dan perhitungan suara. Namun Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi.

2.4 Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dari Berbagai Penelitian di Dunia

Pencegahan dan penanganan politik uang dalam tulisan ini berdasarkan best practise yang dilakukan oleh negara-negara luar dan kajian-kajian terdahulu serta disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia. Penanganan politik uang dapat dimulai dengan menghilangkan akar permasalahannya penyebab terjadinya politik uang dan kondisi yang membuat berkembangnya politik uang, dan strategi teknis untuk menyelesaikannya. Faktor utama penyebab timbulnya politik uang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dari segi demografis dan sosial ekonomi, perilaku memilih, politik klientalisme, moneter dan sistem pemilu. Pertama, dari aspek demografis dan sosial ekonomi (Vilalta, 2010).Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan, tingkat marginalitas, ukuran populasi, partai yang memerintah, tingkat kompetensi pemilihan mempengaruhi vote buying. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Bratton (2008) yang menyatakan bahwa politik uang berlaku untuk orang miskin dan tidak berpendidikan, penduduk pedesaan. Sementara menurut Pradhanawati dkk (2018) warga negara yang paling mungkin “memilih hati nurani” adalah pemilihberpenghasilan rendah dan berpendidikan tinggi. Bagi warga negara ini, kemiskinan menciptakan kebutuhan untuk menerima uang, sementara pendidikan menuntun mereka untuk memilih kandidat yang mereka sukai. Sebaliknya, warga paling mungkin menerima uang dan memilih kandidat yang menawarkannya adalah pemilih loyalis partai, karyawan, dan pemilih berpenghasilan rendah/kurang berpendidikan. Warga kemungkinan besar menolak uang adalah warga negara berpendapatan menengah dan atas yang juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Kedua, aspek perilaku memilih, politik uang akan terjadi pada partisipan partai (petahanan dan oposisi) dibandingan non partai. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Cantu (2019) menyatakan bahwa kandidat cenderung untuk menargetkan pemilih yang (1) mendukung oposisi di masa lalu, (2) tinggal di daerah di mana oposisi telah mengerahkan upaya mobilisasi. Saat menargetkan grup pemilih dengan karakteristik ini, pihak mengidentifikasi mereka yang lebih mungkin untuk menjual suara mereka, dengan melihat pada pilihan pemilihan mereka sebelumnya.

Ketiga, politik klientalisme, menurut William (2005) untuk melawan politik uang perlu menantang dinamika hubungan antara klientalisme dan politik. Penelitian ini menunjukan bahwa aktor yang paling diuntungkan dalam vote buying dalam jangka pendek adalah broker dan kaum borjuis (pemodal) karena aliran modal pada akhirnya tergantung pada legitimasi demokrasi parlementer. Sementara dalam jangka panjang kandidat terpilihlah yang memperoleh keuntungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Edward dkk (2018) bahwa vote buying dilakukan dalam struktur broker yang menggambar di jejaring sosial untuk mengidentifikasi pemilih dan mengirimkan pembayaran kepada mereka. Logika pasar menyusun sistem pembelian suara di Indonesia. Hasil studi mengungkapkan pola pembelian suara yang sangat terfragmentasi, dengan mayoritas kandidat mendapatkan total suara yang jauh lebih rendah dari jumlah pembayaran individu yang didistribusikan. Calon pembeli ini tergantung pada jaringan sosial yang ada dan pada pengaruh otoritas lokal.

Keempat, aspek moneter, aspek ini cukup unik dan jarang dihubungan dengan vote buying oleh peneliti sebelumnya, menurut Aidt (2019), siklus pemilihan moneter jangka pendek bulanan menunjukan tingkat pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) di sekitar pemilihan lebih tinggi daripada di bulan-bulan lainnya. Pertumbuhan moneter tinggi yang tidak normal di bulan pemilihan bisa menjadi indikasi pembelian suara sistemik yang dipicu oleh efek permintaan uang tunai. Hal ini memungkinkan jalan baru untuk menekan adanya politik uang dengan cara mengurangi jumlah uang beredar dalam waktu bulan pemilu, misalnya dengan menaikan nilai bunga deposito atau tabungan, tidak memperbolehkan penarikan tunai dalam jumlah yang besar pada pemilu, dan tidak memperbolehkan nilai uang cash dalam jumlah besar tertentu, di mana bank sentral independen dari pengaruh politik.

Kelima, sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang karena caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam satu partai untuk mengejar personal vote. Kemudian karena kursi yang diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan suara terbanyak, maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan rival separtainya. Politik uang merupakan mekanisme diferensiasi seorang caleg dalam rangka memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding pesaing internal (Burhanuddin dkk, 2019). Sejalan dengan pendapat Edward dkk (2018) vote buying dan bertukar daftar klien dapat berkembang dalam situasi di mana partai politik relatif lemah seperti Thailand, sedangkan di Amerika Latin, yang relatif berfokus pada partai, menimbulkan asumsi bahwa para pelaku yang melakukan pembelian suara adalah agen partai (meskipun di sini juga, telah ditunjukkan bahwa partai merekrut broker non-partai: Holland dan Palmer-Rubin 2015). Sebagian besar diskusi tentang “turnout buying,” khususnya, muncul dari diskusi tentang politik klientelist di Argentina, di mana pemilihan menggunakan daftar proporsional daftar tertutup di mana tingkat identifikasi partai dalam populasi relatif tinggi, sehingga dapat menekan vote buying.

2.5 Dampak Fenomena Politik Uang dalam Pemilu

Salah satu masalah yang selalu muncul dalam pelaksanaan pemilu adalah politik uang. Keterlibatan uang untuk memenangkan kekuasaan politik dalam Pemilu memberikan banyak dampak negatif. Tulisan ini menganalisis dan menyampaikan data hasil pengawasan terhadap politik uang yang dilakukan oleh Bawaslu dalam tahapan Pemilu serta apa saja dampaknya bagi nasib anak bangsa atau masyarakat, terutama generasi penerus Indonesia. Money politic bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti persaingan dan karena masyarakat yang kurang cerdas, masyarakat yang belum sejahtera, iming-iming kekuasaan yang kelak diterima sangatlah tinggi, moralitas bobrok, dan kurangnya kreativitas serta peraturan yang kurang maksimal.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya money politic ini sangatlah merugikan baik untuk masyarakat ataupun kandidat yang melakukan. Bagi kandidat yang melakukan money politic ini tentu saja akan mencoreng nama baiknya sendiri.

Selain itu, pasangan calon yang terpilih juga mendapat sanksi yang tak mudah dan juga dapat didiskualifikasi yang tentunya tidak menjadi tujuan awal dari pasangan calon. Bagi masyarakat, money politic ini malah bisa melatih masyarakat untuk bertindak curang. Jika pelakunya terpilih, bisa saja dia melakukan penyalahgunaan jabatan dan terlibat kasus korupsi. Selain itu kerugian berjalannya money politic ini bagi pemerintah adalah terciptanya produk perundangan yang tidak tepat sasaran karena mereka yang menjabat tidak sesuai dengan kapasitas atau bukanlah ahli dibidangnya dan akan sangat merugikan Negara, karena Negara menjadi tidak berkembang.

2.6 Strategi Politik Uang dalam Pemilu

Dalam konteks pemilihan, ada empat lingkaran politik uang. Pertama, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan calon kepala daerah. Kedua, transaksi antara calon kepala daerah dengan partai politik yang memiliki hak untuk mencalonkan. Praktik ini dirangkum oleh Buehler dan Tan (2007:169) sebagai "partai-partai yang menggerogoti uang dari calon-calon”.Ketiga, transaksi antara kandidat dan tim kampanye dengan petugas pemilu yang memiliki wewenang untuk menghitungsuara. Tujuannya adalah untuk menambahkan suara melalui cara yang tidak sah. Keempat, transaksi antara calon atau pemilih dengan tim kampanye membentuk pembelian yang masuk akal. Para kandidat calon membagikan uang langsung kepada calon pemilih dengan harapan mendapatkan suara instan (Supriyanto, 2005:4).Setidaknya ada tiga alasan mengapa politik uang harus dianggap sebagai praktik ilegal dalam kontes politik di Negara Bagian (Ward, 2003 :2).

Alasan pertama, pembelian suara paling mendasar dinilai mengurangi penerapan prinsip keadilan dalam pemilihan. Rasionalitas pemilih dalam menilai kualitas calon (individu atau partai politik) bisa terganggu. Peserta menawarkan iming-iming uang atau materi lainnya. Ketidakadilan terjadi karena pemilih memiliki kemampuan ekonomi yang berbeda satu sama lain. Argumen ini didasarkan pada studi Buchanan dan Tullock, (1999:274) yang menggambarkan hubungan antara kelayakan ekonomi dan keterampilan politik dari perspektif pemilih. Alasan kedua; politik uang dianggap mencemari proses pemilihan sehingga qmempengaruhi keseluruhan kualitas demokrasi. Daya tawar uang dapat membuat pemilih mengabaikan evaluasi indikator objektif (Ward, 2003:5).

Alasan ketiga lebih praktis, penggunaan uang yang tidak legal bisa mendorong korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman di sejumlah negara Afrika Barat menunjukkan bahwa uang yang digunakan untuk membeli suara berasal dari penyelundupan dan kegiatan yang tidak sah (Vicente dan Leonard, 2009:295). Di negara-negara Asia Timur dan Tenggara, seperti Jepang,Taiwan, Korea Selatan, Filipina dan Thailand, politik uang sering dikaitkan dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (Austin dan Maja, 2004:57),bahkan di Amerika Latin praktik jual-beli suara yang dilakukan oleh kartel obat bius mencoba menempatkan orang di jabatan publik melalui pemilihan umum (Hoddes, aq2004:76).

Pencegahan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan melalui efektifitas fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem politik, budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat dengan strategi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Pencegahan dapat juga dilakukan melalui modifikasi sistem Pemilu campuran sehingga meningkatkan hubungan antar pemilih dan wakilnya yang tidak terputus pasca Pemilu pada akhirnya akan meminimalisir politik uang dan menekan jumlah caleg instan menjelang Pemilu.

BAB III KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

 Berbagai permasalahan dan celah hukum yang terjadi selama tahapan Pemilu dapat meningkatkan potensi praktek politik uang yang memungkinkan pelanggaran karena Terdapat kelemahan sehingga ada celah di dalam regulasi yang menyebabkan subjek hukum dapat lolos dari jeratan Undang-Undang, pengawasan, dan terdapat beberapa permasalahan dalam sistem pemilu pendaftaran calon yang mengurangi integritas pemilu antara lain banyaknya kasus mahar politik dalam proses pencalonan oleh partai politik. Bentuk pemberian politik uang tidak teridentifikasi sebagai kasus politik uang. Menurut (Marli, 2018) masalah pendataan pemilih ini erat kaitannya dengan sumber daya manusia di lapangan yang kurang teliti dan sistem e-ktp yang harus diakui masih banyak kelemahan. Politik uang paling banyak ditemukan pada saat kampanye, berbagai macam jenis politik uang yang terselubung seakan tidak dapat terbendung karena semakin kreatifnya pelaku untuk menjalankan aksi vote buying ataupun dana kampanye yang “mengikat” (abusive donation). Sering terjadi serangan fajar, penyuapan kepada masyarakat, tokoh masyarakat, bahkan oknum pengawas. Kasus penggelembungan suara, kerjasama KPUD untuk pemenangan calon tertentu melalui penggelembungan suara. Terjadinya politik uang melalui kerjasama antara calon tertentu dengan penyelenggara, sehingga hasil rekapitulasi pemungutan dan perhitungan suara. Namun Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi.

Dalam konteks pemilihan, ada empat lingkaran politik uang. Pertama, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan calon kepala daerah. Kedua, transaksi antara calon kepala daerah dengan partai politik yang memiliki hak untuk mencalonkan. Ketiga, transaksi antara kandidat dan tim kampanye dengan petugas pemilu yang memiliki wewenang untuk menghitung suara. Tujuannya adalah untuk menambahkan suara melalui cara yang tidak sah. Keempat, transaksi antara calon atau pemilih dengan tim kampanye membentuk pembelian yang masuk akal.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya politik uang ini sangatlah merugikan baik untuk masyarakat ataupun kandidat yang melakukan. Bagi kandidat yang melakukan politik uang ini tentu saja akan mencoreng nama baiknya sendiri. Selain itu, pasangan calon yang terpilih juga mendapat sanksi yang tak mudah dan juga dapat didiskualifikasi yang tentunya tidak menjadi tujuan awal dari pasangan calon. Bagi masyarakat, politik uang ini malah bisa melatih masyarakat untuk bertindak curang. Jika pelakunya terpilih, bisa saja dia melakukan penyalahgunaan jabatan dan terlibat kasus korupsi. Selain itu kerugian berjalannya politik uang ini bagi pemerintah adalah terciptanya produk perundangan yang tidak tepat sasaran karena mereka yang menjabat tidak sesuai dengan kapasitas atau bukanlah ahli dibidangnya dan akan sangat merugikan Negara, karena Negara menjadi tidak berkembang.

Pencegahan dan penanganan politik uang dalam berdasarkan best practices yang dilakukan oleh negara-negara luar dan kajian-kajian terdahulu serta disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia. Penanganan politik uang dapat dimulai dengan menghilangkan akar permasalahannya penyebab terjadinya politik uang dan kondisi yang membuat berkembangnya politik uang, dan strategi teknis untuk menyelesaikannya. Faktor utama penyebab timbulnya politik uang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dari segi demografis dan sosial ekonomi, perilaku memilih, politik klientelisme, moneter dan sistem pemilu.

REFERENSI

Agustyati, Khoirunnisa. 2016. “Menata Ulang Mekanisme Pendaftaran Pemilih Pilkada, Jurnal Pemilu dan Demokrasi”, Edisi April, No 8, hal 43-61

Dwipayana, Ari AAGN. 2009. “Demokrasi Biaya Tinggi: Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru”. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. Volume 12, Nomor 3

Dendy Lukmajati. 2016. “Praktek Politik Uang Dalam Pemilu Legislatif 2014 Studi Kasus Kabupaten Blora”. Politika: Jurnal Ilmu Politik. Volume 7 Nomor 1

Mutahdi, Burhanuddin. 2019. “Politik Uang dan New Normal Dalam Pemilu Paska Orde Baru.Jurnal Anti Korupsi Integritas”. Vol 5 nomor 1 halaman 55-74

Lati Praja Delmanaa, Aidinil Zetrab, Hendri Koeswarac. PROBLEMATIKA DAN STRATEGI PENANGANAN POLITIK UANG PEMILU SERENTAK 2019 DI INDONESIA. Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia Vol. 1 No. 2, Mei 2020

https://jurnal.banten.bawaslu.go.id/index.php/awasia/article/view/56#:~:text=Hasil%20dari%20penulisan%20menunjukan%20bahwa,uang%20dapat%20merusak%20paradigma%20bangsa .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar