Sesuai Prosedur Perubahan Pertambahan Pajak Nilai (PPN) Dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)



P

PN merupakan pungutan yang dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi. Pemungutan PPN ini diatur dalam Undang-Undang PPN (UU PPN). Munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang yang mengatur tentang PPN dan PPnBM tersebut akhirnya disahkan pada 1 April 1985.

Sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ditetapkan, hingga saat ini sudah ada tiga kali perubahan UU PPN di Indonesia . Nah, berikut ini perubahan UU PPN kedua dan ketiga di Indonesia.

Setelah perubahan pertama pada 1983, UU PPN mengalami perubahan kedua yang disebut sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Ada pun sasaran yang ingin diwujudkan dari perubahan kedua UU PPN tersebut adalah menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta dapat mengamankan dan meningkatkan penerimaan negara.

Perubahan UU PPN ketiga adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hingga tahun 2018, undang-undang ini masih digunakan dan belum ada rencana untuk direvisi.

Tujuan dilakukannya perubahan ketiga UU PPN ini adalah untuk semakin meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri.

PPN merupakan pajak tidak langsung. Artinya, pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah orang yang berbeda.

(1)  Multi tahap. Artinya, pajak dikenakan pada setiap mata rantai  jalur produksi dan jalur distribusi sejak dari pabrik.

(2)  Objektif. Artinya, pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak (barang dan jasa) tanpa melihat subjek pajaknya.

(3)  Menghindari double tax. Maksudnya, PPN hanya dikenakan pada pertambahan nilainya saja.

(4)   Pungutannya menggunakan faktur (struk atau bukti pembayaran pajak).

(5)   PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic consumtions).

(6) PPN dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung, dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 secara resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Sebanyak delapan dari sembilan fraksi yang berada di DPR RI menyetujui RUU HPP untuk diundangkan.

Adapun sebelumnya, rancangan UU itu telah melalui pembahasan di Komisi XI DPR RI bersama pemerintah serta dalam rapat Panja hingga rapat Timus dan Timsin. Beleid baru itu pun akan menggantikan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

Sebelum rapat paripurna mengambilan keputusan, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie melaporkan bahwa UU tentang pajak yang baru ini terdiri dari sembilan BAB dan 19 pasal. Secara garis besar terdapat beberapa pengaturan seperti penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi.

UU HPP menjadi sebuah reformasi dalam bidang perpajakan di Indonesia dengan muatan dan pemberlakuan sebagai berikut:

(1)   Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku untuk Tahun Pajak 2022.

(2)   Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) yang berlaku pada 1 April 2022.

(3)   Perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang berlaku sejak tanggal diundangkan

(4)   Program Pengungkapan Sukarela yang berlaku pada 1 Januari sd 30 Juni 2022

(5)   Pajak Karbon yang mulai berlaku pada 1 April 2022.

(6)   Perubahan Undang-Undang Cukai yang berlaku sejak tanggal diundangkan.

Reformasi perpajakan adalah suatu mata rantai tak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang telah dijalankan. Reformasi perpajakan dilakukan baik di dalam aspek administrasi maupun aspek kebijakan. RUU HPP yang telah disepakati merupakan bagian penting dari reformasi perpajakan untuk membangun fondasi perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel, dalam jangka menengah/panjang, dengan tujuan untuk:

(1)   Meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian.

(2)   Mengoptimalkan penerimaan negara;

(3)   Mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum;

(4)   Melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis pajak;

(5)   meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Dampak Penerapan UU HPP terhadap perekonomian dan masyarakat menjadi perhatian Pemerintah. Dengan kenaikan PPN sebesar 1%, dampak terhadap inflasi diperkirakan akan terbatas dan minimal. Pemerintah bersama Bank Indonesia tetap akan menjaga inflasi pada tingkat rendah untuk menjaga daya beli rakyat. Melalui penerimaan negara yang membaik, belanja negara untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong akselerasi pemulihan ekonomi dapat ditingkatkan. Dengan demikian penerapan UU HPP bersama dengan reformasi fiskal dan belanja negara yang makin terarah dan tepat sasaran diharapkan akan menghasilkan pemulihan ekonomi yang makin kuat, dan pengurangan kemiskinan yang makin cepat. Dengan terkendalinya laju inflasi, daya beli masyarakat juga diharapkan tetap dapat terjaga, terutama bagi golongan masyarakat miskin dan rentan. Pada saat yang sama, Pemerintah juga terus secara konsisten melakukan reformasi perlindungan sosial sebagai bentuk perlindungan sepanjang hayat yang mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan sehingga mampu mengakselerasi program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan. Dengan gambaran ini semua, net benefit-nya bagi sosial-ekonomi dari  reformasi perpajakan ini akan sangat positif.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengungkapkan, pokok perubahan PPN dalam UU HPP yang krusial antara lain pertama, perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN, kedua, kenaikan tarif PPN secara bertahap, dan ketiga penerapan PPN final. Suryo mengatakan bahwa perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN ditujukan agar fasilitas PPN lebih adil dan tepat sasaran. Dalam UU HPP, perluasan basis PPN untuk optimalisasi penerimaan negara tetap mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan. Khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional. Hal ini sejalan dengan prinsip perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

Tarif PPN akan naik dari 10 persen sampai tahun ini menjadi 11 persen yang mulai berlaku 1 April 2022. PPN tersebut akan naik menjadi 12 persen yang akan di realisasikan paling lambat pada 1 Januari 2025. perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN ditujukan agar fasilitas PPN lebih adil dan tepat sasaran. Dalam UU HPP, perluasan basis PPN untuk optimalisasi penerimaan negara tetap mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan. Khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional. Hal ini sejalan dengan prinsip perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

“Jadi perubahan di PPN tidak berlaku 1 Januari 2022, namun 1 April 2022,” ujar Sri Mulyani.

Selain itu, bertumbuhnya kelompok kelas menengah dengan proporsi konsumsi yang cukup besar juga menjadi peluang yang sangat penting sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. UU HPP menjadi cukup krusial untuk memanfaatkan peluang bertumbuhnya kelompok middle-class tersebut.

Melalui aturan ini juga, pemerintah tidak jadi memungut PPN pada bahan kebutuhan pokok (sembako) yang dikonsumsi oleh orang banyak, jasa pendidikan atau sekolah, jasa keuangan, hingga jasa kesehatan yang sebelumnya menjadi usulan dalam draf RUU KUP.

Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya diberikan fasilitas pembebasan PPN. Bagi pengusaha dengan peredaran bruto sampai Rp 500 juta setahun tidak akan dikenakan PPh.

Pengecualian objek PPN dan Fasilitas PPN ditetapkan sebagai berikut:

(1)   Fasilitas pembebasan PPN diberikan terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. Masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.

(2)   Pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN diberikan agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

(3)   Pengaturan ini dimaksudkan untuk perluasan basis PPN dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional. Tujuan kebijakan ini yaitu optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

Pemerintah berharap melalui RUU HPP ini, pajak benar-benar hadir untuk mendukung rakyat dan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional serta meningkatkan keadilan di masyarakat. Penerapan tarif PPh Badan sebesar 22%, penerapan tarif PPN sebesar 11% pada April 2022, dan pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada Semester I Tahun 2022 dapat meningkatkan kontribusi penerimaan perpajakan pada APBN pada Tahun 2022 serta mendukung penyehatan kembali APBN dengan defisit maksimal 3% pada tahun 2023.

RUU HPP juga mengatur perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya akan diberikan fasilitas dibebaskan PPN.

Sementara itu, pemerintah juga menetapkan tarif tunggal untuk PPN. Kenaikan tarif PPN disepakati untuk dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%, dan juga lebih rendah dari Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%).

Menurut Suryo, peluang Indonesia untuk mewujudkan visi menjadi negara maju di tahun 2045 sangat terbuka lebar apabila mampu mengkapitalisasi arah perubahan struktur demografi yang cukup menguntungkan saat ini. Hal ini ditandai dengan relatif dominannya kelompok usia produktif dan menurunnya angka ketergantungan penduduk.

Selain itu, bertumbuhnya kelompok kelas menengah dengan proporsi konsumsi yang cukup besar juga menjadi peluang yang sangat penting sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, Suryo menjelaskan UU HPP menjadi cukup krusial untuk memanfaatkan peluang bertumbuhnya kelompok middle-class tersebut.

Kenaikan tarif PPN akan diikuti dengan naiknya harga jual barang yang dibeli oleh konsumen. Di tengah lesunya konsumsi akibat daya beli ini lemah, kebijakan kenaikan tarif PPN memang sedikit kurang populis. Secara umum, memang banyak negara yang berhasil menaikan tarif PPN tanpa mengorbankan ekonomi dan mampu menaikkan penerimaan pajak. Tetapi waktu yang tepat adalah kunci utamanya. Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan, PPN memang menjadi salah satu tulang punggung pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Akan tetapi tetapi mengarahkan, menaikkan tarif tidak secara langsung mengerek penerimaan negara karena PPN berkaitan langsung dengan konsumsi atau penjualan barang di pasaran. Dengan kata lain, jika tarif yang dikenakan cukup tinggi maka masyarakat akan mengurangi konsumsi sehingga berdampak pada terbatasnya akselerasi penerimaan pajak dari sektor ini “PPN ini dibayar oleh semua golongan, dan saat ini kondisi sedang sulit jadi ini tidak akan berdampak besar pada penerimaan dan defisit,” ujarnya.

Porsi PPN dalam penerimaan negara memang cukup besar. Per 31 Maret 2021, penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp96,89 triliun dan menjadi penyumbang terbesar. Kedua dalam struktur pajak setelah PPh Nonmigas yang bernilai Rp120,72 triliun.

Berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang langsung melalui kanal youtube Kemenkeu RI pada 7 Oktober 2021, reformasi perpajakan dilakukan sebagai salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan persiapan tujuan bernegara Indonesia pada tahun 2045, yaitu menjadi negara yang semakin maju. Selain itu, reformasi perpajakan dilakukan untuk memperkuat fungsi APBN untuk mewujudkan kesejahteraan penggunaan pembangunan dan menyediakan layanan publik, fungsi distribusi (redistribusi sumber daya yang lebih merata di masyarakat), dan fungsi stabilisasi (mendukung dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas) .

Seperti yang ingin dibangun dalam UU HPP adalah untuk menjalankan pajak yang menimbulkan keadilan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Selain itu, tujuan dari disahkannya UU HPP diantaranya:

(1)   Peningkatan pertumbuhan dan mendukung pemulihan pemulihan ekonomi

(2)   Mengoptimalkan penerimaan negara

(3)   Mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum

(4)   Pelaksanaan reformasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis pajak,

(5)   Kepuasan sukarela Wajib Pajak

Dengan disahkannya UU HPP, diharapkan Dasar perpajakan Indonesia menjadi lebih kuat dan luas namun tetap adil dan berpihak pada kelompok yang tidak mampu. Diproyeksikan bahwa rasio perpajakan akan meningkat hampir 140 Triliun pada 2022 meningkat 150 Triliun pada 2023.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai UU HPP tak terlepas dari upaya pemerintah mencari pendanaan baru guna mengurangi defisit APBN 2022 dan 2023 yang harus kembali ke level 3 persen.

 

 

Sumber Referensi:

https://berkas.dpr.go.id/setjen/dokumen/persipar-Laporan-AKD-Laporan-Komisi-XI-DPR-RI-terhadap-RUU-tentang-Harmonisasi-Peraturan-Perpajakan-1633596532.pdf&ved=2ahUKEwj1nPmQ8MrzAhUIfisKHd4wArIQFnoECBgQAQ&usg=AOvVaw0vQa2ePH49i-DO77pyLXxq&cshid=1634253523725

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-aturan-baru-pph-dan-ppn-dalam-ruu-harmonisasi-peraturan-perpajakan/

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/35149/t/UU+Harmonisasi+Peraturan+Perpajakan+Bagian+Penting+dari+Reformasi+Pajak

https://www.ssas.co.id/rancangan-kebijakan-2022-tarif-pajak-pertambahan-nilai-naik/

https://tipspajak.com/pokok-perubahan-penting-di-undang-undang-harmonisasi-peraturan-perpajakan-hpp/

https://nasional.kontan.co.id/news/simak-tiga-kebijakan-baru-ppn-dalam-uu-harmonisasi-peraturan-perpajakan

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/uu-ppn

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar